MK Izinkan Eks Terpidana Korupsi Abdullah Puteh Ikuti Pilkada Aceh
Mahkamah Konstitusi (MK) mengizinkan Abdullah Puteh mengikuti Pilkada Aceh. Puteh pernah dipidana 10 tahun penjara -- hanya dijalani 5 tahun penjara -- karena korupsi pembelian helikopter.
Puteh mulai menghuni penjara sejak 2004 atas kasus korupsi pembelian dua helikopter MI-2. Setelah melalui proses pengadilan, Puteh dijatuhi hukuman 10 tahun penjara. Tapi Puteh hanya menjalani hidup di balik jeruji besi selama 5 tahun setelah mendapat remisi rutin. Pada 18 November 2009, Puteh sujud syukur di depan Lapas Sukamiskin, Jalan Sukamiskin, Bandung, karena bebas bersyarat.
Selepas dari penjara, Puteh kembali aktif di kancah politik. Mantan gubernur Aceh itu mendukung pasangan Prabowo-Hatta dalam Pilpres 2014.
“Kita mencari seorang presiden yang setia pada Aceh. Kita banyak lihat pemimpin yang tidak setia pada Aceh. Kita lihat sosok orang Jawa tapi setia pada Aceh namanya Prabowo Subianto,” kata Puteh saat menemani Prabowo berkampanye di pelataran parkir Stadion H Dirmutala, Banda Aceh, pada 11 Juni 2014.
Setahun kemudian, Puteh kembali akan meramaikan bursa cagub dalam Pilgub Aceh 2017. Tapi apa nyana, niatnya terhalang UU Pemerintahan Aceh. Dalam pasal 67 ayat (2) huruf g UU Pemerintahan Aceh disebutkan:
Calon gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota harus memenuhi persyaratan tidak pernah dijatuhi pidana penjara karena melakukan kejahatan yang diancam dengan hukuman penjara minimal 5 tahun berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, kecuali tindak pidana makar atau politik yang telah mendapat amnesti/rehabilitasi.
Puteh keberatan dengan UU Pemerintahan Aceh tersebut dan menggugat UU itu ke Mahkamah Konstitusi (MK). Atas gugatan itu, MK mengabulkan permohonan Puteh.
“Mengabulkan permohonan untuk seluruhnya. Pasal 67 ayat (2) huruf g Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai dikecualikan bagi mantan terpidana yang secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana,” kata Ketua MK Arief Hidayat dalam sidang terbuka di Gedung MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Selasa (23/8/2016).
Putusan itu sejalan dengan putusan MK Nomor 42/PUU-XIII/2015 dalam kasus serupa dengan pemohon berbeda yang meminta mantan terpidana korupsi boleh ikut pilkada. Pada Putusan 42/PUU-XIII/2015 tiga hakim konstitusi menyatakan dissenting opinion yaitu Maria Farida Indrati, I Dewa Gede Palguna, dan Suhartoyo. Ketiganya berpendapat aturan itu mestinya ditafsirkan sesuai dengan isi Putusan MK No 4/PUU-VII/2009.
Puteh sendiri telah mendaftar menjadi calon gubernur Aceh pada awal Agustus ini lewat jalur independen. Ia mendaftar dengan membawa foto kopi 188 ribu KTP warga Aceh.
“Kehadiran kami di pesta demokrasi pilkada karena merasa terpanggil dengan nasib rakyat Aceh, yang hari ini menurut kami masih sangat merugikan,” kata Puteh saat mendaftar.
Puteh mulai menghuni penjara sejak 2004 atas kasus korupsi pembelian dua helikopter MI-2. Setelah melalui proses pengadilan, Puteh dijatuhi hukuman 10 tahun penjara. Tapi Puteh hanya menjalani hidup di balik jeruji besi selama 5 tahun setelah mendapat remisi rutin. Pada 18 November 2009, Puteh sujud syukur di depan Lapas Sukamiskin, Jalan Sukamiskin, Bandung, karena bebas bersyarat.
Selepas dari penjara, Puteh kembali aktif di kancah politik. Mantan gubernur Aceh itu mendukung pasangan Prabowo-Hatta dalam Pilpres 2014.
“Kita mencari seorang presiden yang setia pada Aceh. Kita banyak lihat pemimpin yang tidak setia pada Aceh. Kita lihat sosok orang Jawa tapi setia pada Aceh namanya Prabowo Subianto,” kata Puteh saat menemani Prabowo berkampanye di pelataran parkir Stadion H Dirmutala, Banda Aceh, pada 11 Juni 2014.
Setahun kemudian, Puteh kembali akan meramaikan bursa cagub dalam Pilgub Aceh 2017. Tapi apa nyana, niatnya terhalang UU Pemerintahan Aceh. Dalam pasal 67 ayat (2) huruf g UU Pemerintahan Aceh disebutkan:
Calon gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota harus memenuhi persyaratan tidak pernah dijatuhi pidana penjara karena melakukan kejahatan yang diancam dengan hukuman penjara minimal 5 tahun berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, kecuali tindak pidana makar atau politik yang telah mendapat amnesti/rehabilitasi.
Puteh keberatan dengan UU Pemerintahan Aceh tersebut dan menggugat UU itu ke Mahkamah Konstitusi (MK). Atas gugatan itu, MK mengabulkan permohonan Puteh.
“Mengabulkan permohonan untuk seluruhnya. Pasal 67 ayat (2) huruf g Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai dikecualikan bagi mantan terpidana yang secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana,” kata Ketua MK Arief Hidayat dalam sidang terbuka di Gedung MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Selasa (23/8/2016).
Putusan itu sejalan dengan putusan MK Nomor 42/PUU-XIII/2015 dalam kasus serupa dengan pemohon berbeda yang meminta mantan terpidana korupsi boleh ikut pilkada. Pada Putusan 42/PUU-XIII/2015 tiga hakim konstitusi menyatakan dissenting opinion yaitu Maria Farida Indrati, I Dewa Gede Palguna, dan Suhartoyo. Ketiganya berpendapat aturan itu mestinya ditafsirkan sesuai dengan isi Putusan MK No 4/PUU-VII/2009.
Puteh sendiri telah mendaftar menjadi calon gubernur Aceh pada awal Agustus ini lewat jalur independen. Ia mendaftar dengan membawa foto kopi 188 ribu KTP warga Aceh.
“Kehadiran kami di pesta demokrasi pilkada karena merasa terpanggil dengan nasib rakyat Aceh, yang hari ini menurut kami masih sangat merugikan,” kata Puteh saat mendaftar.
EmoticonEmoticon